Menyelami Alasan Logis di Balik Magis Tim Promosi Serie A

Ajaib, bagi mereka yang belum mengenalnya

Daftar ini entah dimulai sejak kapan, yang jelas kian hari kian meresahkan hati Claudio Lotito, pemilik Lazio. “Andrea, kita butuh perubahan,” begitu caranya membuka obrolan dengan Andrea Abodi, Presiden Serie B. “Jika kau memberiku tim-tim yang tak bernilai sepeser pun, dalam dua atau tiga tahun lagi tidak akan ada Lira tersisa,” ancamnya yang muncul di laman La Republica.

Pada Februari 2015, dua tim dari kota mungil Italia sedang merawat mimpi menembus Serie A untuk pertama kalinya. Mereka adalah Carpi yang secara mengejutkan mendominasi kasta kedua musim itu, dan Frosinone setia menguntit di belakang.

Di mata Lotito, kehadiran mereka dianggap menjatuhkan pamor Serie A, terlebih-lebih mendustai kerja kerasnya selama ini. Suatu kali ia memuji kehebatannya sendiri dalam kesepakatan hak siar yang membuat Sky dan Mediaset bersedia membelinya sebesar 1,2 miliar Euro. Namun, semesta berkata lain.

Serie B terus mengangkat tim ajaib baru, mulai Novara pada awal dekade ini, Carpi dan Frosinone pada 2015, Crotone musim lalu, hingga sekarang tiba giliran SPAL serta Benevento. Yang lebih hebat, dua tim terakhir meneruskan kiprah Novara dan Frosinone: cukup menghabiskan satu musim di Serie B untuk sampai di kompetisi tertinggi.

Kendati demikian, tak ada satu pun nama di atas yang bertahan lebih dari semusim. Novara bisa membanggakan kemenangan perdana 3-1 atas Inter Milan setelah absen 55 tahun dari Serie A, tapi ini tak cukup.

Leonardo Blanchard, usai menggenggam jatah promosi berangkat ke Berlin untuk mendukung Juventus di final Liga Champions Juni 2015. Tiga bulan kemudian sundulannya ke gawang Gianluigi Buffon di menit ke-92 memberikan Frosinone poin pertama. Dongeng seolah berlanjut, waktu menjelaskan terimalah ini sebagai sisa keajaiban musim sebelumnya.

Lalu ada juga yang sadar keajaiban telah dirampas sejak awal. Ternyata, agar sebuah tim menjadi ajaib, mereka perlu racikan rahasia. Dari Novara sampai Benevento, pola rekrutmen yang diterapkan cenderung serupa. Sekumpulan kesebelasan ini mengandalkan kolaborasi harmonis antara para pemain muda yang dipinjam dari klub mapan Serie A dengan pemain-pemain sarat pengalaman yang didapatkan dengan harga bersahabat.

Tentu saja pemain dengan kategori seperti itu melimpah ruah di Italia, Anda masih membutuhkan direktur teknik yang handal untuk menentukan siapa yang tepat, baik dari sudut pandang taktis maupun daya beli yang selalu miris. Di Carpi, peran ini dijalankan nyaris sempurna oleh Cristiano Guintoli, direktur teknik yang menciptakan pintu ajaib Biancorossi ke Serie A dari divisi lima. Tanpa menghancurkan apapun, kepindahannya ke Napoli di musim panas 2015 merupakan bencana tersendiri untuk Carpi.

Guintoli berusaha menutupi lubang yang ditinggalkannya dengan rajin meminjamkan pemain Napoli ke Carpi. Terbukti, lubang yang ia tinggalkan terlampau besar. Carpi dan Frosinone tiba dan meninggalkan Serie A bersama-sama.

Mana yang Fana?

Sebagaimana Eusebio Di Francesco menyebut Chievo sebagai panutan Sassuolo, stabilitas adalah air suci bagi hamba yang mendamba umur panjang di Serie A. Model rekrutmen pemain yang diperagakan tim-tim ajaib di satu sisi telah membawa sukses besar. Di lain pihak, Serie A punya kebiasaan mengeksploitasi celah dalam sistem ini.

Alex Meret, tepat setahun lalu meninggalkan Udine menuju Ferrara, kota tempat sekelompok pendeta mendirikan SPAL 110 tahun lalu. Transfermarkt menaksir valuasi penjaga gawang yang baru berusia 19 tahun itu sebesar 1 juta Euro. Tampil cemerlang semusim di perantauan, ia kembali ke Udinese bernilai 4 juta Euro. Itu pun belum menunjukkan harga yang sebenarnya. Napoli dikabarkan menawar Meret 17 juta Euro Juni lalu.

Dengan agak putus asa, satu-satunya senjata SPAL yang tersisa adalah romantisme, seperti yang diungkapkan Presiden Walter Mattioli dikutip dari Football Italia, ”Sekarang bergantung pada Udinese untuk menangani berbagai tawaran yang mucul, saya hanya bisa memberinya saran agar tetap bersama kami setahun lagi dan berkembang di daerah kecil yang jauh dari hingar-bingar.”

Selain Meret, SPAL juga harus rela memulangkan Kevin Bonifazi ke Torino, bek tengah penuh talenta yang memainkan peranan penting dalam formasi 3-5-2 atraktif gubahan Leonardo Semplici. Setali tiga uang, ada doa dan keringat menyertai usaha Benevento meminjam striker 21 tahun milik Inter, George Puscas, untuk kedua kalinya.

Meskipun akhirnya berhasil mengamankan jasa Meret dan Puscas semusim ke depan, jelas ini bukan stabilitas menurut Eusebio, si pelatih Sassuolo itu. Lagi pula Neroverdi, alih-alih terjun langsung ke Serie B malah mencicipi Europa League musim lalu. Bila jumlah penduduk sebuah kota menjadi hambatan, seluruh penduduk Sassuolo (40.780) sama seperti Frosinone (46.529), Crotone (62.187), Carpi (70.644) yang tak sanggup memenuhi semua kursi di San Siro (80.018). Namun, persamaan di antara mereka berhenti sampai di sini.

Sassuolo seperti yang jamak diketahui, dimiliki oleh Mapei, raksasa produsen cat dan bahan perekat. Ketika Domenico Berardi dkk. memastikan tiket promosi, Mapei memenangkan lelang terbuka untuk menjamin markas baru mereka di Serie A. Citta del Tricolore, nama asli stadion tersebut kemudian dibubuhi nama pemilik barunya, MAPEI Stadium.

Debutnya di Serie A juga dihiasi rekor belanja pemain terbesar sepanjang sejarah klub. Terhitung 37,2 juta Euro dikeluarkan guna memperbesar peluang mereka bertahan. Sejak itu, Sassuolo belum pernah mengakhiri musim tanpa menghabiskan setidaknya 18 juta Euro. Yang tak kalah penting, nilai sponsor kaus Sassuolo dengan Mapei merupakan yang terbesar di Italia. Sebagai perbandingan, kontrak 17 juta Euro semusim dari Jeep untuk Juventus masih tertinggal 5 juta Euro.

Tanpa dukungan Mapei, Sassuolo mestinya hidup seperti klub-klub fenomenal dari kota kecil lainnya. Dengan basis pendukung yang minor, tak mudah menarik investasi dari luar, itu sebabnya sebagian besar dari mereka amat bergantung pada pengusaha-pengusaha lokal.

Frosinone contohnya, dipimpin oleh Maurizio Stirpe, putra dari Presiden Frosinone era 1960-an merangkap pemilik sebuah perusahaan plastik. Sama halnya dengan kebangkitan Carpi yang tak bisa dilepaskan dari campur tangan tiga pengusaha lokal yang berkecimpung di dunia mode.

Nama Ciro Vigorito pada stadion Benevento, merupakan bentuk penghormatan kepada Vigorito bersaudara. Bersama mendiang Ciro, Oresto mengangkat The Witches dari keterpurukan finansial pada 2005. Begitu pula SPAL dan keluarga Colombarini, sementara Raffaele Vrenna memberikan tongkat estafet ke saudaranya setelah memimpin Crotone selama 25 tahun.

Sekalipun terbilang gagal, mereka yang kandas di percobaan pertama belum mau menyingkirkan ramuan magis dalam waktu dekat. Carpi menunjukkannya dengan mempertahankan pelatih Fabrizio Castori. Mengingat piknik di Serie A berlangsung singkat di tangan orang yang sama, langkah Carpi sebuah ketaklaziman bagi sepakbola masa kini.

Frosinone pun punya caranya tersendiri. Meskipun tak seramah Carpi soal pelatih, Gialloazzurri berusaha mempertahankan anggota tim yang babak belur di Serie A. Duo penyerang gaek, Federico Dionisi dan Daniel Ciofani membayar tuntas kepercayaan yang diberikan. Mereka mengemas 33 gol, 57%  dari keseluruhan gol Frosinone di Serie B musim lalu.

Jika bukan lantaran mesin gol Hellas Verona yang lebih produktif, Frosinone-lah yang bakal menemani SPAL di Serie A musim ini. Sedangkan kekalahan tipis Carpi di final play-off, membuat Benevento menapaki zona di mana dewi fortuna, kabarnya berhenti berpihak selain kepada pemilik modal besar.

Torehan Frosinone dan Carpi mengirim pesan akan niat mereka untuk kembali ke Serie A secepatnya. Ketika mereka kembali, atau tim-tim semacam Benevento berhasil menetap di sana, orang perlahan mulai paham tak ada keajaiban di baliknya, selain upaya mengakali keterbatasan yang ada.

 

@notomoyoo

@cornelkick

Leave a comment