Sepakbola Wanita: Mengapa Obsesi Kita akan Sepakbola Ideal Harus Berhenti di Sini

Hujatan pada sepakbola modern menemukan jawabannya di tempat yang kita abaikan

Sepakbola wanita sedang berbahagia. Pada 1994, Gail Newsham merampungkan satu-satunya buku yang pernah ia terbitkan. Buku tersebut berjudul In a League of Their Own, berkisah tentang sebuah kesebelasan wanita bernama Dick, Kerr Ladies. Selama masa jayanya, mereka pernah bermain di depan 53.000 penonton, melakukan tur ke Prancis bahkan lintas Atlantik, dan meminjam dua lampu sorot dari militer agar bisa bertanding di malam hari.

Buku ini punya semua resep untuk menjadi karya fenomenal di Inggris—Ihwal tim yang mulanya didirikan guna menjamin kebugaran buruh-buruh wanita di pabrik pembuat amunisi sepanjang perang dunia pertama—kecuali satu hal, mereka adalah tim wanita.

21 tahun setelah naskahnya muncul di pasaran, sepakbola wanita seketika jadi perbincangan besar di Inggris. Steph Houghton dkk. di luar dugaan mampu menembus semifinal Piala Dunia di Kanada. Sebelum di titik ini, narasi sepakbola wanita Inggris tak lebih dari berkah budaya. Mereka ada karena kebiasaan, tapi tak juga hebat dalam memainkannya.

Dalam satu cara, ini bisa dibuktikan lewat rekor pertemuan mereka melawan Jerman di fase gugur Piala Eropa. Dua kali bertemu pada 1995 dan 2009, dua kali pula berakhir dengan skor 6-2 untuk kemenangan Jerman. Ringkas kata, tak ada yang berubah dengan Inggris selama itu. Ketika Inggris menundukkan Jerman dalam perebutan peringkat ketiga dunia, publik mulai berpikir mereka punya harapan baru di lapangan hijau.

Yang menarik, wabah optimis yang sebetulnya ganjil dalam sepak bola Inggris ini justru menetapkan media selaku eksponennya. Daripada mendamprat habis setiap kekalahan seperti biasa, mereka menyikapi kekalahan tiga gol tanpa balas di semifinal Euro tahun ini dengan penuh rasa hormat. Sang pelatih Mark Sampson dibingkai dalam pigura besar termuat pahlawan. Faktanya memang demikian, dia menjadi pelatih kedua setelah Sir Alf Ramsey pada 1960-an yang berhasil membawa Inggris ke empat besar turnamen mayor secara beruntun.

Sementara Gail bersiap menyambut lonjakan angka penjualan bukunya, demam ini membenarkan dugaan bahwa absennya Inggris dari kekuatan tradisional sepakbola wanita layak disebut sebagai bentuk pengabaian, alih-alih ketidakmampuan.

Sebaik-baiknya Sepakbola?

Jalan terbaik untuk menghargai kompetisi wanita tak lain dengan membebaskan mereka dari bayang-bayang kawan prianya. Semisal, kita tak perlu menghadirkan Roger Federer untuk membayangkan seberapa hebatnya Serena Williams. Tapi itu olahraga lain, di sepakbola, setiap pencapaian baru kerap dibalas dengan cibiran bernada seksisme.

Data menunjukkan kita bisa kesampingkan itu barang sejenak. Pagelaran Euro 2017 dihiasi pemecahan rekor penonton juga rating televisi yang kian melambung tinggi. Delapan dari sepuluh pemirsa televisi di Belanda memilih menonton laga final Euro 2017 antara Oranje dan Denmark. Di Inggris, tren positif ini terus berlanjut, tak terkecuali di negara yang telah berkembang lebih dulu seperti Jerman.

Menyaksikan partai pemuncak tersebut Anda akan tahu alasannya. Permainan menyerang dan terbuka kedua tim menghasilkan skor 4-2, sebuah kemewahan untuk ukuran laga final. Lebih dari itu, ada sentimen khusus yang makin afdal jika meminjam testimoni dari Julian Nagelsmann. Seperti dikutip dari DW Sports, Pelatih Hoffenheim itu berkata: “Saya menyukai sepakbola wanita karena ini lebih jujur. Mereka tidak berbaring di atas rumput dan merengek. Mereka bangun dan melanjutkan pekerjaannya.”

Meskipun kita bisa menghargai trik-trik kotor itu lewat sebutan seni hitam sepakbola, pada dasarnya kita tidak membutuhkannya. Peradaban kontemporer tak pernah kekurangan hal-hal semacam itu. Diam-diam kita justru mendambakan sebaliknya. Inilah yang membuat sepakbola wanita begitu memikat, menawarkan destinasi pelarian dari kehidupan yang penuh tipu daya.

Adapula slogan seperti Against Modern Football yang tampak menebarkan pesan yang sama. Namun, konsep ini seringkali terkesan melupakan pertanyaan besarnya: Sejak kapan sepakbola bisa dikatakan modern? Apakah saat suporter lawan was-was tiap datang ke Stamford Bridge pada 1980-an sepakbola belum modern?

Franklin Foer dalam bukunya How Soccer Explains the World membuat kesimpulan menarik. Menurutnya, Tuan-Tuan pemilik klub dari dulu sama saja. Menganggap mereka lebih baik dan peduli di masa silam tak ubahnya suatu ilusi. Kalau sekarang permasalahannya tiket mahal dan atmosfer senyap, dahulu tiket murah dan riuh karena para pembesar tak ambil pusing soal keselamatan penontonnya. Ken Bates, pemilik Chelsea sebelum Roman Abramovich, terkenal atas idenya untuk mengaliri pagar pembatas tribun Stamford Bridge dengan arus listrik.

Beberapa saat sebelum penggawa Belanda naik ke podium juara, seorang komentator mengingatkan betapa meriahnya suasana di stadion. Ia menegaskan apa yang membuatnya berbeda: tidak ada segregasi. Tentu saja hal ini mungkin dilakukan sebab fanatisme di persepakbolaan wanita belum terlanjur membeku. Namun, sambil mengunyah kudapan di depan televisi atau dalam stadion bukankah kita sesekali menginginkan hal yang serupa?

Secara sadar diskursus publik sepakbola saat ini bergulir menuju ambisi pencarian model ideal sepakbola. Ada yang mundur ke masa lalu, lantas di titik mana harus berhenti menimbulkan persoalan lain.

Boleh jadi di jaman Dick, Kerr Ladies berjaya, sepakbola lebih bersahabat untuk siapapun. Tak lama kemudian FA mengumumkan penolakan terhadap sepakbola wanita yang bertahan selama 50 tahun. Itu waktu yang cukup untuk membiarkan identifikasi maskulinitas pada sepakbola menjalar tanpa tandingan. Maskulinitas selebihnya, dirujuk oleh Franklin Foer sebagai akar maraknya hooliganism di Inggris.

Tentu saja hakikat dari obsesi mengandung keirasionalitasnya sendiri. Akan selamanya muncul tuduhan klub yang tak mengindahkan suporternya juga fans yang tak tahu jalannya bisnis sepakbola. Bagaimanapun juga, perkembangan sepakbola wanita yang masih begitu dini mengirimkan harapan.

Arus Komersial

Sulit dipungkiri bila sepakbola wanita ingin terus berkembang, mereka wajib membuka pintu selebar-lebarnya kepada arus modal. Komersialisasi membantu mereka menjangkau lebih banyak orang. Di lain pihak, potensi ekonomi sepakbola wanita yang belum banyak terjamah memberikan keunggulan.

Namun, karena alasan yang sama pula sepakbola pria berada dalam kondisi yang kita keluhkan sekarang. Orang seperti Mino Raiola, contohnya, pionir yang menyadari adanya tambang uang terbengkalai bernama sepakbola.

Setidaknya, dalam tahap yang sangat awal ini komersialisasi sepakbola wanita berjalan ke arah yang berbeda. “Menurut hemat saya, apa yang menarik bagi brand, para mitra komersial dan sponsor tak lain karena perkembangan pesat sepakbola wanita terjadi mulai dari akar rumput sampai ke tingkat tertinggi,” ujar George Hodge, kepala urusan sepakbola wanita di Base, sebuah agensi pemain di Inggris kepada The Independent.

Nilai kesetaraan, inklusi, serta realita bahwa tak sedikit pemain yang turun di Euro 2017 mempunyai pekerjaan paruh waktu di tempat lain melenyapkan batas-batas antara elit dengan suporter yang mendera sepakbola selama ini. Faktor kedekatan inilah yang coba dimanfaatkan oleh SSE untuk menyampaikan pesan mereka sebagai perusahaan energi yang berorientasi pada penggunanya. Sejak 2015, SSE menjadi sponsor utama Piala FA sampai dua tahun ke depan.

Raksasa apparel Adidas dalam beberapa tahun terakhir telah menerapkan seragam yang berbeda dari tim pria untuk klien-klien pentingnya semacam Jerman dan Swedia.

Nike, pemain lama di sepakbola wanita, menggunakan cara lain untuk menjelaskan komitmennya. Perusahaan asal Amerika Serikat tersebut meluncurkan logo baru timnas wanita Belanda berupa singa betina. Menggandeng agensi desain W+K Amsterdam, logo ini akan menggantikan singa jantan yang biasanya diadopsi dari tim pria.

Kampanye bertajuk Oranje Leeuwinnen digelar tepat sebelum Euro berlangsung, memasang winger eksplosif, Shanice van de Sanden serta rekrutan anyar Barcelona yang nantinya diganjar predikat pemain terbaik, Lieke Martens.

Liverpool, klub van de Sanden bernaung, April ini mengumumkan perjanjian sponsor kaus untuk pertama kalinya dengan perusahaan kosmetik Avon. Dan dapat diterka, The Reds bukan tim wanita terakhir yang bakal memiliki sponsor kaus terpisah dengan skuat prianya.

Sayangnya, arus komersial yang masuk baru bisa dinikmati segelintir pihak. Melalui survei yang dilakukan FIFPro terhadap 3300 pesepakbola elit wanita, 50% di antaranya mengaku tidak dibayar oleh klubnya. Yang perlu diingat, mereka adalah pemain elit.

Sebelum keberangkatan timnas Skotlandia ke Euro 2017, para pemain memaksa federasi agar memenuhi baik hak-hak finansial maupun psikologis. Ancaman terbesarnya: Mereka mundur dari turnamen internasional pertama dalam sejarah sepakbola wanita Skotlandia.

Angkat suara Skotlandia menghiasai catatan panjang perjuangan sepakbola wanita menuntut keadaan yang lebih baik, dan seringkali uang tak bisa menjawab segalanya. Penyerang gaek milik Chelsea, Eni Aluko sempat melaporkan praktik perundungan dalam tubuh timnas Inggris di bawah asuhan Mark Sampson.

FA kemudian disinyalir memberi Aluko uang sebesar 40 ribu pound dengan tujuan meredam tuduhan ini. Walaupun Aluko tidak membantahnya, organisasi antidiskriminasi Kick It Out berharap FA dapat memberikan penjelasan kepada publik. Perjalanan sungguh masih panjang.

Meskipun pantang berucap kata selesai, perlahan-lahan sepakbola wanita terus bergerak keluar, lepas dari bayang-bayang sejarah yang tidak selalu berpihak. Dalil mengapa kebangkitan di Eropa patut dicermati, sebab suka tak suka barometer sepakbola dunia masih bertumpu di sana, padahal, katakanlah tugas orang-orang Eropa itu sendiri mengejar ketinggalan dari negara seperti Amerika Serikat atau Jepang.

Tak tertutup kemungkinan saat rekor transfer tak lagi bisa dipecahkan di masa depan, sepakbola mulai melirik sisi wanitanya. Soal apakah itu mungkin terjadi bergantung pada orang-orang di masa sekarang untuk memastikan sepakbola wanita tetap tumbuh, mandiri, juga membumi.

 

@notomoyoo

@cornelkick

Leave a comment